Sebagai salah satu kain adat, keanggunan kain songket sudah terkenal. Seperti halnya batik, kain tenun asal Palembang ini kerap dipakai pada berbagai acara adat khas daerah Palembang maupun acara perkawinan. Tak heran, kerajinan kain songket ini banyak diburu pada saat banyak orang menggelar pesta perkawinan terutama di bulan setelah Lebaran. Karena ada permintaan itulah, kini banyak orang yang menjual kain songket. Salah satunya, Nita Tarnita yang memang berasal dari Palembang.
Nita mulai menawarkan kain songket sejak 1999 Selain membuka toko, Nita juga menjual kain adat ini lewat dunia maya. “Ini merupakan cara ampuh untuk mengenalkan kain songket kepada pembeli dari luar Palembang,” tuturnya.
Langkah serupa juga dilakukan Hadi Putra. Pria Palembang ini mengatakan, penjualan secara online sangat membantu dalam pemasaran kain songket produksinya.
Saat ini, kain songket produksi Hadi telah diboyong oleh pelanggan dari Medan, Toba Samosir, Sumatra Utara, serta Balikpapan, Kalimantan Timur. Hadi melabeli produknya dengan nama Songket Cantik.
Namun, tak seperti pedagang kain lainnya, mereka justru tak meraup omzet tinggi pada masa Ramadhan. Maklum, kain-kain songket biasanya dikenakan pada acara adat atau pesta perkawinan.
Oleh karena itu, Nita sering memanfaatkan momen Lebaran ini justru untuk menimbun stok. Pasalnya, penjualan kain songket paling bagus justru pada bulan-bulan setelah Lebaran. “Penjualan bisa naik signifikan,” ujarnya.
Bila pada bulan-bulan normal Nita bisa mengumpulkan omzet hingga Rp 10 juta, pada saat peak penjualan bisa mencapai Rp 20 juta. Kini, pelanggan Nita tak hanya warga Palembang tapi sudah menyebar di beberapa daerah, seperti Bali, Jakarta, Medan dan Pekanbaru.
Nita pun mengklaim, motif kain songket miliknya termasuk eksklusif karena corak tiap kain tak akan sama. “Setiap motif, hanya dibuat satu kain saja,” ujarnya. Tak heran, Nita membanderol kain songketnya cukup tinggi, yakni mulai Rp 1,2 juta.
Nita memang memproduksi sendiri sebagian songket yang dijualnya. Pembuatan kain songket butuh waktu antara satu hingga tiga bulan, tergantung spesifikasi yang diinginkan konsumen. Selain itu, Nita juga menjalin kerjasama dengan perajin untuk memasok ke tokonya.
Lewat kerjasama ini, Nita dapat mengambil kain songket produksi para perajin yang menjalin kerjasama produksi dengan tokonya. Dia selanjutnya menjual dan mengambil keuntungan dari selisihnya.
Selain kain songket, Nita juga menawarkan kain jumputan dan kain bermotif serat nanas. Setiap pembuatan kain songket membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni antara satu hingga tiga bulan, tergantung spesifikasi kain pesanan pembeli.
Hadi juga menempuh cara serupa dengan Nita. Saat ini, dia mempunyai sekitar lima sampai enam perajin tetap yang bekerja di tempat usahanya sendiri.
Dari tiap lembar kain yang laku, Hadi hanya menyerap keuntungan bersih antara 20% sampai 25%. Ia menjual kain songket dengan harga Rp 850.000 hingga Rp 3,5 juta per helai.
Dalam sebulan, Hadi bisa menjual lima hingga 10 kain songket. “Penjualan ini bisa melonjak hingga dua kali lipat pada bulan September hingga November,” ujarnya.
Menurut Nita, bisnis kain songket cukup potensial. Meski demikian, Hadi berharap pemerintah ikut berperan dalam pemasaran dan pengadaan bahan baku kain songket.
Hadi melanjutkan, ongkos produksi yang cukup tinggi. Pengusaha harus mengucurkan dana besar lantaran suplai benang emas untuk membuat kain songket ini harus diimpor dari Amerika Serikat dan Jepang. “Harganya cukup mahal, bisa mencapai Rp 2 juta per kilogram,” tandasnya. (peluangusaha.kontan.co.id)
No comments:
Post a Comment